Sikap Terpuji (Pend. Agama Islam X)
وَعَنْ أَبِى أُمَامَةَ قَالَ/ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ وصلى الله عليه وسلم/ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ
الْجَنَّةِ/ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ/ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا/ وَبِبَيْتٍ
فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ/ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ/ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا/
وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ/ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ. (رواه أبو
داود با ءسناد صيح)
“Abu Umamah Al-Bakhili r.a berkata bahwa Rasulullah SAW. / Bersabda, “Saya dapat menjamin suatu rumah di kebun surga / untuk orang yang meninggalkan perdebatan/ meskipun ia benar /. Dan menjamin suatu rumah di pertengahan surga / bagi orang yang tidak berdusta / meskipun bergurau /. Dan menjamin satu rumah di bagian tertinggi dari surga / bagi orang yang baik budi pekertinya.”
Biografi Perawi
Abu Umamah Al-Bakhily, nama lengkapnya adalah Abu Umamah Ash-Shady Al-Bakhily, Ibn Ajalan, Ibn Ribah, Ibn Ma’an Ibn Malik, Ibn Ashar, Ibn Sa’id, Ibn Qais Ailan Ibn Mudhar, Ibn Najar, Ibn Mu’adalah Ibn Adnan. Ia termasuk salah seorang sahabat yang masyhur.
Ia meriwayatkan hadis Rasulullah SAW sebanyak 250 hadis. Diriwayatkan oleh Bukhari sebanyak 5 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim sebanyak tiga hadis. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan pengarang Kitab Sunan yang enam.
Dia tinggal di Mesir dan meninggal disana pada tahun 81 atau 86 H. ia termasuk sahabat paling akhir yang meninggal di Syam dan hadis-hadisnya banyak dikenal orang-orang Syam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Hadis ini menerangkan tiga perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga dari Rasulullah bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja, ketiga perilaku ini harus diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah :
1. Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat atau berbantah-bantah adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk menjadikan orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan lawan debat dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang mendebatnya itu tidak tahu persis permasalahan, karena kebodohannya. Dan yang lebih ditonjolkan dalam berdebat adalah keegoannya sendiri sehingga ia berusaha mengalahkan lawan debatnya dengan berbagai cara.
Sebenarnya, tidak semua bentuk perdebatan dilarang dalam Islam apalagi kalau berdebat dalam mempertahankan aqidah. Hanya saja, perdebatan seringkali membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya dilandasi oleh keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk mencari kebenaran.
Adapun dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang dalam setiap perdebatan, Nabi menganjurkan umatnya untuk meninggalkannya, dan membiarkannya beranggapan bahwa dia menang dalam perdebatan tersebut. Dengan berperilaku seperti itu, bukan berarti kalah dalam perdebatan tersebut, melainkan menang di sisi Allah dan mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana Nabi menyatakan bahwa dijamin surga baginya.
Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, seperti ketika berdebat dengan orang-orang kafir tentang aqidah, kita harus mempertahankan pendapat kita dengan menggunakan berbagai cara supaya mereka menyadari bahwa aqidah kita memang benar dan mereka salah.
Dengan demikian, kapan seseorang harus meninggalkan suatu perdebatan dan kapan dia harus mempertahankannya sangat bergantung pada kondisi.
Dalam berdebat hendaklah mengetahui dengan jelas motivasi dan tujuannya, apakah mencari kebenaran atau hanya mencari prestise semata. Kalau sama-sama mencari kebenaran, diyakini bahwa mereka yang berdebat tidak akan mempertahankan pendapatnya yang salah, dan tidak saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Namun demikian, meninggalkan perdebatan adalah paling utama dan pelakunya akan diberi pahala oleh Allah SWT dengan menempatkannya di surga.
2. Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau
Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dusta sangat dilarang dalam Islam. Karena selain merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mencela orang yang suka berdusta, apalagi terhadap mereka yang mendustakan Allah. Seperti firman-Nya :
Artinya :
“Pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah di dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang yang menyombongkan diri.”
( QA. Az-Zumar:60)
Sebaliknya, Islam sangat menghargai orang yang bersifat jujur walaupun dalam bercanda. Orang-orang yang selalu jujur, sekalipun dalam bercanda sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas dijamin oleh Rasulullah SAW satu tempat di tengah surga.
Dalam bercanda, seseorang biasanya suka melebih-lebihkan candaannya untuk mengundang tawa orang yang diajak bercanda. Hal ini membuatnya merasa puas. Maka dibuatlah gurauan dengan berbagai cara walaupun harus berbohong. Hal seperti itu, tidaklah benar dalam Islam karena apapun alasannya berbohong merupakan perbuatan yang dilarang.
Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ ، وَيْلٌ لَهُ ، ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Artinya:
“Dari Bahz Ibn Hakim dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “kecelakaanlah bagi orang yang menceritakan, tetapi ia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa dengan itu. Kecelakaanlah baginya ! kemudian kecelakaanlah baginya.”
(Dikeluarkan oleh tiga dan isnadnya kuat)
Kejujuran juga harus selalu dipegang teguh oleh para ahli ilmu jika ia menghadapi sesuatu yang belum ia ketahui. Secara jujur ia harus mengatakan bahwa ia tidak tahu. Bahkan para ilmuan salaf (terdahulu) setiap selesai menulis karya mereka, selalu menulis kalimat Wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Pernyataan seperti itu adalah kejujuran sangat tinggi dari seorang ilmuwan tentang kebodohan dirinya dan kemahatahuan Allah SWT.
Adapun salah satu cara untuk menjadi orang yang jujur adalah dengan cara bergaul dengan orang-orang yang dikenal sebagai orang jujur. Hal ini karena pergaulan sangat berpengaruh terhadap watak dan kepribadian seseorang. Allah SWT berfirman :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah: 119)
3. Orang yang baik budi pekertinya
Sifat lainnya yang meningkatkan derajat seseorangdi sisi Allah SWT dan juga dalam pandangan manusia adalah akhlak terpuji.
Salah satu risalah Rasulullah SAW beliau memiliki akhlak terpuji, Rasulullah SAW memberikan suri teladan bukan sekedar memberikan anjuran atau perintah kepada umatnya. Itulah salah satu sebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. beliau memiliki akhlak yang sangat terpuji yang dikagumi kawan maupun lawannya. Hal itu dijelaskan dalam Al-Quran:
Artinya:
“Sungguh engkau (Muhammad) berbudi pekerti yang luhur.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Barang siapa yang ingin berakhlak mulia, ia harus berusaha meniru akhlak Rasulullah SAW yakni menuruti segala petunjuk yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunnahnya. Ketika Siti Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, dia berkata bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran.
Sifat orang yang berakhlak mulia, diantaranya adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain dan perkara yang baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat. Orang yang memiliki sifat seperti itu, selain dijanjikan surga sebagaimana dinyatakan dalam hadis di atas, juga dianggap sebagai orang yang paling baik di antara sesama manusia lain. Rasulullah SAW, bersabda :
وَعَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍوبن العاص رضي الله عنهما قَالَ: لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا ، وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إِنَّ مِنْ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا. (متفق عليه)
Artinya:
“Abdullah bin Amru bin Al-Ash r.a berkata, “Rasulullah SAW bukan seorang yang memiliki perilaku dan perkataan yang keji. Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik akhlak (budi pekertinya).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
B. KEJUJURAN MEMBAWA KEBAIKAN
حَدِيثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ/ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ / إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ/ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ /حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا /وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ /وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ /حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. (أخررجه البخارى فى كتاب الأدب)
1. Terjemahan Hadis:
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata bahwa Nabi SAW bersabda, / ”Sesungguhnya benar (jujur) itu menuntun kepada kebaikan, / dan kebaikan itu menuntun ke surga, / dan seseorang itu berlaku benar / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang siddiq (yang sangat jujur dan benar). / Dan dusta menuntun kepada curang, / dan curang itu menuntun ke dalam neraka. / Dan seorang yang berdusta / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta”.
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Tatakrama”)
Biografi Perawi
Abdullah Ibn Mas’ud Ibn Gafil Ibn Habib Al-Hadly, nama kunyah-nya adalah Abu Abdurrahman. Ia masuk Islam di Mekkah, pernah hijrah ke Habsyi kemudian hijrah ke Madinah, dan menyaksikan Perang Badar, Bay’ah Ar-Ridlwan, serta pernah shalat menghadap dua kiblat.
Rasulullah SAW menghormatinya dan memberikan kabar gembira dengan sabdanya bahwa beliau SAW rida terhadap apa-apa yang diridhai Ibnu Ummu Abd (Abdullah Ibn Mas’ud) dan membenci apa-apa yang dibencinya.
Pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab dan Utsman, ia menjadi qadhi di Kuffah dan penanggung jawab bait al-mal, kemudian kembali ke Madinah dan meninggal di Kuffah pada tahun 32 H, dalam usia lebih dari 60 tahun.
Ia telah meriwayatkan 848 hadis. Sebanyak 40 hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Imam Bukhari sendiri dalam 21 hadis, dan Muslim sendiri dalam 35 hadis.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang jujur, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Ia akan dimasukkan ke dalam surga dan mendapat gelar yang sangat terhormat, yaitu siddiq, artinya orang yang sangat jujur dan benar. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang selalu jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertaqwa :
Artinya:
“Orang-orang yang dating menyampaikan kebenaran dan melakukannya (kebenaran itu), mereka itulah orang-orang yang taqwa.” (Q.S. Az-Zumar: 33)
Hal itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur dan dipastikan tidak akan berkhianat kepada siapa saja, baik kepada Allah SWT, sesama manusia, maupun dirinya sendiri. Orang yang jujur akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengikuti segala Sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan janjinya kepada Allah ketika mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Sebenarnya, Allah SWT telah memperingati kepada hambanya agar berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan karena setiap orang selalu diawasi dan dicatat segala gerak-geriknya oleh malaikat Rakib dan “Atid. Allah berfirman :
Artinya :
“Tiada menyatakan sepatah kata pun, melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat (malaikat Raqid Atid)” (Q.S. Qaf: 18)
Oleh karena itu, setiap orang beriman hendaklah tidak asal bicara apalagi terhadap sesuatu yang belum jelas dan belum ia ketahui kebenarannya secara pasti. Allah SWT berfirman:
“Janganlah mengikuti pembicaraan apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Jika seseorang berusaha untuk berkata benar, manfaatnya bukan hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berkata dusta perbuatannya itu selain merugikan dirinya, juga merugikan orang lain karena tidak akan ada lagi orang yang mempercainya. Padahal kepercayaan merupakan salah satu moal utama dalam menempuh kehidupan di dunia. Tanpa kepercayaan seseorang sulit menemukan kesuksesan, bahkan tidak mustahil hidupnya akan cepat hancur. Hal itu telah digariskan dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Sungguh celaka orang-orang yang suka berdusta.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 10)
C. ORANG YANG JUJUR MENDAPAT PERTOLONGAN ALLAH
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ /مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ /يُرِيدُ أَدَاءَهَا /أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ /وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا /أَتْلَفَهُ اللَّهُ.(رواه البخارى و إبن ماجه وغير هما)
1. Terjemahan Hadis
“Abu Hurairah r.a, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menggunakan harta orang lain (untuk berdagang) / dan dia ingin mengembalikannya, / maka Allah akan (membantu) mengembalikannnya./ Dan barang siapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya / Allah pun akan merusaknya.”
(H.R. Bukhari, Ibnu Majah, dan selainnya)
Biografi Perawi
Nama lengkap Abu Hurairah Ad-Dawsy menurut Hisyam Ibn Al-Kalbi adalah Umam Ibn Amir Ibn Dzi As-Sarri Ibn Tharrif Ibn Iyan Ibn Abi Sha’b Ibn Hunaid Ibn Tsa’labah Ibn Sulaiman Ibn Fahn Ibn Ghanan Ibn Daws.
Pada masa Jahiliyah, ia bernama Abd Syams dengan kunyah-nya Abu Aswad. Kemudian Rasulullah SAW memberi nama Abdullah, dan kunyah-nya Abu Hurairah. Ini berkaitan dengan kucing, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abd Al-Birr bahwa Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari aku membawa kucing dalan suatu yang tertutup dan Nabi SAW melihatku dan menanyakan apa yang kubawa. Aku pun menjawab “kucing”, kemudian Nabi SAW. Memanggilku, “ya, Abu Hurairah”) Ibunya bernama Maemunah Binti Syahr.
Abu Hurairah menerima hadits dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Al-Fadl, Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib, Aisyah, dan lain-lain. Adapun orang-orang yang menerima riwayat darinya adalah : putranya, Al-Muharrar, Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Sa’id Ibn Al-Musyyab, Abu Salamah Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Awf. Menurut Al-Bukhari, mereka yang menerima riwayat darinya mencapai 800 orang lebih. Semuanya merupakan ahli ilmu, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Abu Hurairah masuk islam pada tahun Khaibar, yaitu pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijrah. Al-A’raj berkata. “Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW.
Abu Hurairah termasuk sahabat yang paling banyak hafal hadits Nabi. Tidak ada sahabat lain yang menyamainya dari segi jumlahnya. Ia meriwayatkan tidak kurang dari 5.374 hadis. Tiga ratus hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dan Imam Al-Bukhari sendiri dalam 73 hadis.
Ibnu Umaiyah dari Hisyan Ibn Urwah berkata, “Abu Hurairah meninggal pada tahun Siti Aisyah meninggal, yakni tahun 57 H.” hal itu dikemukakan pula oleh Khalifah, Amr Ibn Ali, Abu Bakar dan jamaah, Damrah Ibn Rabi’ah, dan Hitsam Ibn Abdi pun berpendapat demikian. Abu Masyar berkata bahwa ia meninggal pada tahun 58 H Abu Hurairah dikuburkan di Baqi dekat kuburan Asqalam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Dalam kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau barang kepada orang lain untuk digunakan sebagai penunjang usahanya. Hal itu dibolehkan dalam Islam dan Allah SWT akan menolong mereka kalau mereka berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
Peminjam tidak berniat menipu pemilik modal dengan menggunakan uang yang dipinjamnya untuk berfoya-foya sehingga uang tersebut habis begitu saja dan ia sendiri tidak memiliki uang untuk menggantinya. Hal itu merugikan pemilik modal karena akan menghentikan usahanya, yang sangat penting untuk membiayai keluarganya.
Oleh karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat bahwa harta tersebut adalah amanat yang dipercayakan oleh pemiliknya kepadanya. Dalam Islam umatnya selalu diingatkan untuk menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya dan mengambalikan amanat tersebut kepada pemiliknya, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu semua agar memenuhi amanat kepada yang berhak menerimanya. (Q.S. An-Nisa: 58)
Begitu pula, seorang peminjam modal, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan yang diraihnya tersebut dengan cara mengembalikan modal yang dipinjamnya pada waktu yang telah disepakati. Jika ia berbuat demikian, pemilik modal akan semakin mempercayainya. Ini berarti, jika ia memerlukan modal lagi, ia tidak akan mengalami kesulitan.
Selain akan mendapat predikat shiddiq, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, ia juga akan dimudahkan oleh Allah SWT. Dalam setiap usahanya, terutama dalam usahanya untuk mengembalikan modal yang dimanfaatkan kepadanya.
Sebailknya, apabila dia bermaksud berkhianat, yakni meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau sengaja tidak akan mengembalikannya Allah SWT akan membalas perbuatan zalim tersebut, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak”. (QS. Ibrahim: 42)
Hal itu menunjukkan bahwa penuaian suatu amanah sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapaun khianat (tidak menuaikan amanah) telah disepakati sebagai perbuatan tercela, baik dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia.
Hal itu karena khianat akan merugikan diri si pengkhianat sendiri dan orang lain. Apalagi bagi seorang pemimpin atau wakil rakyat yang memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan amanat dengan baik. Setiap jabatan adalah amanat dari rakyat dan hakikatnya dari Allah SWT, maka seharusnya orang yang dipercayakan memegang suatu jabatan harus melakukan berbagai ketentuan yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat, bukan sebaliknya justru mementingkan diri sendiri, lupa diri, dan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepadanya.
Tentu saja, amanat bukan saja dimonopoli para pemimpin, sebab bila merujuk kepada Al-Qur’an, khianat terbagi kepada dua bagian, yaitu khianat terhadap Khalik (Allah dan Rasulnya) dan khianat terhadap makhluk.
Berkhianat kepada Allah adalah meninggalkan perintah-Nya dan melaksanakan larangan-Nya, sedangkan berkhianat kepada Rasul-Nya adalah meninggalkan Sunnah-Nya. Adapun yang dimaksud mengkhianati amanat sesama manusia adalah mengingkari atau meninggalkan suatau kesepakatan atau amanat yang telah diterima dan disepakati bersama atau mungkin melaksanakannya, tetapi tidak sempurna.
Dengan demikian, setiap orang berpotensi untuk menjadi pengkhianat, bahkan mungkin sekarang ini, kita termasuk para para pengkhianat, baik kepada Allah SWT, Rasulullah SAW maupun sesama manusia.
Menurut Dr. Faruq Humadah, berbuat zalim (aniaya) kepada orang lain termasuk salah satu bentuk khianat karena zalim, sebagaimana khianat, membahayakan dan mendatangkan kesengsaraan kepada manusia.
1. Terjemahan
“Abu Umamah Al-Bakhili r.a berkata bahwa Rasulullah SAW. / Bersabda, “Saya dapat menjamin suatu rumah di kebun surga / untuk orang yang meninggalkan perdebatan/ meskipun ia benar /. Dan menjamin suatu rumah di pertengahan surga / bagi orang yang tidak berdusta / meskipun bergurau /. Dan menjamin satu rumah di bagian tertinggi dari surga / bagi orang yang baik budi pekertinya.”
Biografi Perawi
Abu Umamah Al-Bakhily, nama lengkapnya adalah Abu Umamah Ash-Shady Al-Bakhily, Ibn Ajalan, Ibn Ribah, Ibn Ma’an Ibn Malik, Ibn Ashar, Ibn Sa’id, Ibn Qais Ailan Ibn Mudhar, Ibn Najar, Ibn Mu’adalah Ibn Adnan. Ia termasuk salah seorang sahabat yang masyhur.
Ia meriwayatkan hadis Rasulullah SAW sebanyak 250 hadis. Diriwayatkan oleh Bukhari sebanyak 5 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim sebanyak tiga hadis. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan pengarang Kitab Sunan yang enam.
Dia tinggal di Mesir dan meninggal disana pada tahun 81 atau 86 H. ia termasuk sahabat paling akhir yang meninggal di Syam dan hadis-hadisnya banyak dikenal orang-orang Syam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Hadis ini menerangkan tiga perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga dari Rasulullah bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja, ketiga perilaku ini harus diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah :
1. Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat atau berbantah-bantah adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk menjadikan orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan lawan debat dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang mendebatnya itu tidak tahu persis permasalahan, karena kebodohannya. Dan yang lebih ditonjolkan dalam berdebat adalah keegoannya sendiri sehingga ia berusaha mengalahkan lawan debatnya dengan berbagai cara.
Sebenarnya, tidak semua bentuk perdebatan dilarang dalam Islam apalagi kalau berdebat dalam mempertahankan aqidah. Hanya saja, perdebatan seringkali membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya dilandasi oleh keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk mencari kebenaran.
Adapun dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang dalam setiap perdebatan, Nabi menganjurkan umatnya untuk meninggalkannya, dan membiarkannya beranggapan bahwa dia menang dalam perdebatan tersebut. Dengan berperilaku seperti itu, bukan berarti kalah dalam perdebatan tersebut, melainkan menang di sisi Allah dan mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana Nabi menyatakan bahwa dijamin surga baginya.
Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, seperti ketika berdebat dengan orang-orang kafir tentang aqidah, kita harus mempertahankan pendapat kita dengan menggunakan berbagai cara supaya mereka menyadari bahwa aqidah kita memang benar dan mereka salah.
Dengan demikian, kapan seseorang harus meninggalkan suatu perdebatan dan kapan dia harus mempertahankannya sangat bergantung pada kondisi.
Dalam berdebat hendaklah mengetahui dengan jelas motivasi dan tujuannya, apakah mencari kebenaran atau hanya mencari prestise semata. Kalau sama-sama mencari kebenaran, diyakini bahwa mereka yang berdebat tidak akan mempertahankan pendapatnya yang salah, dan tidak saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Namun demikian, meninggalkan perdebatan adalah paling utama dan pelakunya akan diberi pahala oleh Allah SWT dengan menempatkannya di surga.
2. Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau
Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dusta sangat dilarang dalam Islam. Karena selain merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mencela orang yang suka berdusta, apalagi terhadap mereka yang mendustakan Allah. Seperti firman-Nya :
Artinya :
“Pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah di dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang yang menyombongkan diri.”
( QA. Az-Zumar:60)
Sebaliknya, Islam sangat menghargai orang yang bersifat jujur walaupun dalam bercanda. Orang-orang yang selalu jujur, sekalipun dalam bercanda sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas dijamin oleh Rasulullah SAW satu tempat di tengah surga.
Dalam bercanda, seseorang biasanya suka melebih-lebihkan candaannya untuk mengundang tawa orang yang diajak bercanda. Hal ini membuatnya merasa puas. Maka dibuatlah gurauan dengan berbagai cara walaupun harus berbohong. Hal seperti itu, tidaklah benar dalam Islam karena apapun alasannya berbohong merupakan perbuatan yang dilarang.
Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ ، وَيْلٌ لَهُ ، ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Artinya:
“Dari Bahz Ibn Hakim dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “kecelakaanlah bagi orang yang menceritakan, tetapi ia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa dengan itu. Kecelakaanlah baginya ! kemudian kecelakaanlah baginya.”
(Dikeluarkan oleh tiga dan isnadnya kuat)
Kejujuran juga harus selalu dipegang teguh oleh para ahli ilmu jika ia menghadapi sesuatu yang belum ia ketahui. Secara jujur ia harus mengatakan bahwa ia tidak tahu. Bahkan para ilmuan salaf (terdahulu) setiap selesai menulis karya mereka, selalu menulis kalimat Wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Pernyataan seperti itu adalah kejujuran sangat tinggi dari seorang ilmuwan tentang kebodohan dirinya dan kemahatahuan Allah SWT.
Adapun salah satu cara untuk menjadi orang yang jujur adalah dengan cara bergaul dengan orang-orang yang dikenal sebagai orang jujur. Hal ini karena pergaulan sangat berpengaruh terhadap watak dan kepribadian seseorang. Allah SWT berfirman :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah: 119)
3. Orang yang baik budi pekertinya
Sifat lainnya yang meningkatkan derajat seseorangdi sisi Allah SWT dan juga dalam pandangan manusia adalah akhlak terpuji.
Salah satu risalah Rasulullah SAW beliau memiliki akhlak terpuji, Rasulullah SAW memberikan suri teladan bukan sekedar memberikan anjuran atau perintah kepada umatnya. Itulah salah satu sebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. beliau memiliki akhlak yang sangat terpuji yang dikagumi kawan maupun lawannya. Hal itu dijelaskan dalam Al-Quran:
Artinya:
“Sungguh engkau (Muhammad) berbudi pekerti yang luhur.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Barang siapa yang ingin berakhlak mulia, ia harus berusaha meniru akhlak Rasulullah SAW yakni menuruti segala petunjuk yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunnahnya. Ketika Siti Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, dia berkata bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran.
Sifat orang yang berakhlak mulia, diantaranya adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain dan perkara yang baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat. Orang yang memiliki sifat seperti itu, selain dijanjikan surga sebagaimana dinyatakan dalam hadis di atas, juga dianggap sebagai orang yang paling baik di antara sesama manusia lain. Rasulullah SAW, bersabda :
وَعَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍوبن العاص رضي الله عنهما قَالَ: لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا ، وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إِنَّ مِنْ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا. (متفق عليه)
Artinya:
“Abdullah bin Amru bin Al-Ash r.a berkata, “Rasulullah SAW bukan seorang yang memiliki perilaku dan perkataan yang keji. Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik akhlak (budi pekertinya).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
B. KEJUJURAN MEMBAWA KEBAIKAN
حَدِيثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ/ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ / إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ/ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ /حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا /وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ /وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ /حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. (أخررجه البخارى فى كتاب الأدب)
1. Terjemahan Hadis:
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata bahwa Nabi SAW bersabda, / ”Sesungguhnya benar (jujur) itu menuntun kepada kebaikan, / dan kebaikan itu menuntun ke surga, / dan seseorang itu berlaku benar / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang siddiq (yang sangat jujur dan benar). / Dan dusta menuntun kepada curang, / dan curang itu menuntun ke dalam neraka. / Dan seorang yang berdusta / sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta”.
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Tatakrama”)
Biografi Perawi
Abdullah Ibn Mas’ud Ibn Gafil Ibn Habib Al-Hadly, nama kunyah-nya adalah Abu Abdurrahman. Ia masuk Islam di Mekkah, pernah hijrah ke Habsyi kemudian hijrah ke Madinah, dan menyaksikan Perang Badar, Bay’ah Ar-Ridlwan, serta pernah shalat menghadap dua kiblat.
Rasulullah SAW menghormatinya dan memberikan kabar gembira dengan sabdanya bahwa beliau SAW rida terhadap apa-apa yang diridhai Ibnu Ummu Abd (Abdullah Ibn Mas’ud) dan membenci apa-apa yang dibencinya.
Pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab dan Utsman, ia menjadi qadhi di Kuffah dan penanggung jawab bait al-mal, kemudian kembali ke Madinah dan meninggal di Kuffah pada tahun 32 H, dalam usia lebih dari 60 tahun.
Ia telah meriwayatkan 848 hadis. Sebanyak 40 hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Imam Bukhari sendiri dalam 21 hadis, dan Muslim sendiri dalam 35 hadis.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang jujur, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Ia akan dimasukkan ke dalam surga dan mendapat gelar yang sangat terhormat, yaitu siddiq, artinya orang yang sangat jujur dan benar. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang selalu jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertaqwa :
Artinya:
“Orang-orang yang dating menyampaikan kebenaran dan melakukannya (kebenaran itu), mereka itulah orang-orang yang taqwa.” (Q.S. Az-Zumar: 33)
Hal itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur dan dipastikan tidak akan berkhianat kepada siapa saja, baik kepada Allah SWT, sesama manusia, maupun dirinya sendiri. Orang yang jujur akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengikuti segala Sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan janjinya kepada Allah ketika mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Sebenarnya, Allah SWT telah memperingati kepada hambanya agar berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan karena setiap orang selalu diawasi dan dicatat segala gerak-geriknya oleh malaikat Rakib dan “Atid. Allah berfirman :
Artinya :
“Tiada menyatakan sepatah kata pun, melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat (malaikat Raqid Atid)” (Q.S. Qaf: 18)
Oleh karena itu, setiap orang beriman hendaklah tidak asal bicara apalagi terhadap sesuatu yang belum jelas dan belum ia ketahui kebenarannya secara pasti. Allah SWT berfirman:
“Janganlah mengikuti pembicaraan apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Jika seseorang berusaha untuk berkata benar, manfaatnya bukan hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berkata dusta perbuatannya itu selain merugikan dirinya, juga merugikan orang lain karena tidak akan ada lagi orang yang mempercainya. Padahal kepercayaan merupakan salah satu moal utama dalam menempuh kehidupan di dunia. Tanpa kepercayaan seseorang sulit menemukan kesuksesan, bahkan tidak mustahil hidupnya akan cepat hancur. Hal itu telah digariskan dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Sungguh celaka orang-orang yang suka berdusta.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 10)
C. ORANG YANG JUJUR MENDAPAT PERTOLONGAN ALLAH
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ /مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ /يُرِيدُ أَدَاءَهَا /أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ /وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا /أَتْلَفَهُ اللَّهُ.(رواه البخارى و إبن ماجه وغير هما)
1. Terjemahan Hadis
“Abu Hurairah r.a, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menggunakan harta orang lain (untuk berdagang) / dan dia ingin mengembalikannya, / maka Allah akan (membantu) mengembalikannnya./ Dan barang siapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya / Allah pun akan merusaknya.”
(H.R. Bukhari, Ibnu Majah, dan selainnya)
Biografi Perawi
Nama lengkap Abu Hurairah Ad-Dawsy menurut Hisyam Ibn Al-Kalbi adalah Umam Ibn Amir Ibn Dzi As-Sarri Ibn Tharrif Ibn Iyan Ibn Abi Sha’b Ibn Hunaid Ibn Tsa’labah Ibn Sulaiman Ibn Fahn Ibn Ghanan Ibn Daws.
Pada masa Jahiliyah, ia bernama Abd Syams dengan kunyah-nya Abu Aswad. Kemudian Rasulullah SAW memberi nama Abdullah, dan kunyah-nya Abu Hurairah. Ini berkaitan dengan kucing, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abd Al-Birr bahwa Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari aku membawa kucing dalan suatu yang tertutup dan Nabi SAW melihatku dan menanyakan apa yang kubawa. Aku pun menjawab “kucing”, kemudian Nabi SAW. Memanggilku, “ya, Abu Hurairah”) Ibunya bernama Maemunah Binti Syahr.
Abu Hurairah menerima hadits dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Al-Fadl, Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib, Aisyah, dan lain-lain. Adapun orang-orang yang menerima riwayat darinya adalah : putranya, Al-Muharrar, Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Sa’id Ibn Al-Musyyab, Abu Salamah Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Awf. Menurut Al-Bukhari, mereka yang menerima riwayat darinya mencapai 800 orang lebih. Semuanya merupakan ahli ilmu, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Abu Hurairah masuk islam pada tahun Khaibar, yaitu pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijrah. Al-A’raj berkata. “Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW.
Abu Hurairah termasuk sahabat yang paling banyak hafal hadits Nabi. Tidak ada sahabat lain yang menyamainya dari segi jumlahnya. Ia meriwayatkan tidak kurang dari 5.374 hadis. Tiga ratus hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dan Imam Al-Bukhari sendiri dalam 73 hadis.
Ibnu Umaiyah dari Hisyan Ibn Urwah berkata, “Abu Hurairah meninggal pada tahun Siti Aisyah meninggal, yakni tahun 57 H.” hal itu dikemukakan pula oleh Khalifah, Amr Ibn Ali, Abu Bakar dan jamaah, Damrah Ibn Rabi’ah, dan Hitsam Ibn Abdi pun berpendapat demikian. Abu Masyar berkata bahwa ia meninggal pada tahun 58 H Abu Hurairah dikuburkan di Baqi dekat kuburan Asqalam.
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan
Dalam kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau barang kepada orang lain untuk digunakan sebagai penunjang usahanya. Hal itu dibolehkan dalam Islam dan Allah SWT akan menolong mereka kalau mereka berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
Peminjam tidak berniat menipu pemilik modal dengan menggunakan uang yang dipinjamnya untuk berfoya-foya sehingga uang tersebut habis begitu saja dan ia sendiri tidak memiliki uang untuk menggantinya. Hal itu merugikan pemilik modal karena akan menghentikan usahanya, yang sangat penting untuk membiayai keluarganya.
Oleh karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat bahwa harta tersebut adalah amanat yang dipercayakan oleh pemiliknya kepadanya. Dalam Islam umatnya selalu diingatkan untuk menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya dan mengambalikan amanat tersebut kepada pemiliknya, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu semua agar memenuhi amanat kepada yang berhak menerimanya. (Q.S. An-Nisa: 58)
Begitu pula, seorang peminjam modal, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan yang diraihnya tersebut dengan cara mengembalikan modal yang dipinjamnya pada waktu yang telah disepakati. Jika ia berbuat demikian, pemilik modal akan semakin mempercayainya. Ini berarti, jika ia memerlukan modal lagi, ia tidak akan mengalami kesulitan.
Selain akan mendapat predikat shiddiq, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, ia juga akan dimudahkan oleh Allah SWT. Dalam setiap usahanya, terutama dalam usahanya untuk mengembalikan modal yang dimanfaatkan kepadanya.
Sebailknya, apabila dia bermaksud berkhianat, yakni meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau sengaja tidak akan mengembalikannya Allah SWT akan membalas perbuatan zalim tersebut, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak”. (QS. Ibrahim: 42)
Hal itu menunjukkan bahwa penuaian suatu amanah sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapaun khianat (tidak menuaikan amanah) telah disepakati sebagai perbuatan tercela, baik dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia.
Hal itu karena khianat akan merugikan diri si pengkhianat sendiri dan orang lain. Apalagi bagi seorang pemimpin atau wakil rakyat yang memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan amanat dengan baik. Setiap jabatan adalah amanat dari rakyat dan hakikatnya dari Allah SWT, maka seharusnya orang yang dipercayakan memegang suatu jabatan harus melakukan berbagai ketentuan yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat, bukan sebaliknya justru mementingkan diri sendiri, lupa diri, dan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepadanya.
Tentu saja, amanat bukan saja dimonopoli para pemimpin, sebab bila merujuk kepada Al-Qur’an, khianat terbagi kepada dua bagian, yaitu khianat terhadap Khalik (Allah dan Rasulnya) dan khianat terhadap makhluk.
Berkhianat kepada Allah adalah meninggalkan perintah-Nya dan melaksanakan larangan-Nya, sedangkan berkhianat kepada Rasul-Nya adalah meninggalkan Sunnah-Nya. Adapun yang dimaksud mengkhianati amanat sesama manusia adalah mengingkari atau meninggalkan suatau kesepakatan atau amanat yang telah diterima dan disepakati bersama atau mungkin melaksanakannya, tetapi tidak sempurna.
Dengan demikian, setiap orang berpotensi untuk menjadi pengkhianat, bahkan mungkin sekarang ini, kita termasuk para para pengkhianat, baik kepada Allah SWT, Rasulullah SAW maupun sesama manusia.
Menurut Dr. Faruq Humadah, berbuat zalim (aniaya) kepada orang lain termasuk salah satu bentuk khianat karena zalim, sebagaimana khianat, membahayakan dan mendatangkan kesengsaraan kepada manusia.
Ridho (Pend. Agama Islam X)
1) Sifat ridha adalah sifat makrifah dan mahabbah kepada Allah s.w.t.
2) Pengertian ridha ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t.
3) Ridha terhadap Allah s.w.t terbagi menjadi dua :
* Ridha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
* Ridha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Ridha Menerima hukum Allah s.w.t. :
Ridha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi dari kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. karena menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syari’at yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah karena cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
” Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami karunianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib atau pun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan ridha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .
Itulah sifat ridha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Ridha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang dibenci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebagian urusan kamu, Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui ”. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak ridha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh ridha dan yang tidak ridha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang ridha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak ridha itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada’ :
Ridha dengan qada’ yaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat atau pun berupa musibah ( malapetaka ). Di dalam hadisth diungkapkan bahwa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. yaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah atau pun dalam keadaan senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperoleh kegembiraan, Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.
Perintah ridha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan di dalam hadisth Baginda yang lain yang bermaksud :
” Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendaklah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! ” Karena sesungguhnya perkataan : andaikata… itu memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)
Sikap ridha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahwa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya karena bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
” Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandung kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin. Jika ia memperoleh kegembiraan dia berterima kasih berarti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar berarti kebaikan pula baginya “.
( Riwayat Muslim )
2) Pengertian ridha ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t.
3) Ridha terhadap Allah s.w.t terbagi menjadi dua :
* Ridha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
* Ridha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Ridha Menerima hukum Allah s.w.t. :
Ridha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi dari kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. karena menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syari’at yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah karena cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
” Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami karunianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib atau pun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan ridha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .
Itulah sifat ridha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Ridha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang dibenci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebagian urusan kamu, Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui ”. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak ridha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh ridha dan yang tidak ridha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang ridha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak ridha itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada’ :
Ridha dengan qada’ yaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat atau pun berupa musibah ( malapetaka ). Di dalam hadisth diungkapkan bahwa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. yaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah atau pun dalam keadaan senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperoleh kegembiraan, Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.
Perintah ridha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan di dalam hadisth Baginda yang lain yang bermaksud :
” Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendaklah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! ” Karena sesungguhnya perkataan : andaikata… itu memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)
Sikap ridha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahwa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya karena bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
” Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandung kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin. Jika ia memperoleh kegembiraan dia berterima kasih berarti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar berarti kebaikan pula baginya “.
( Riwayat Muslim )
Zakat Fitrah (Pendi. Agama Islam X)
Diantara dalil yang menganjurkan untuk menunaikan zakat fitrah adalah :1. Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat" (Al-A'la: 14-15)
2. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fituah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat 'Id (hari Raya) " (Muttafaq 'Alaih)
Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha' (+- 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika masih memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam.
Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat 'Id, boleh juga sehari atau dua lari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluaran zakat fitrah setelah hari Raya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.
"Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id, maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id maka ia adalah sedekah biasa. "(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
(Dan diriwayatkan pula Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari.)
Zakat fitrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya(*),(*)''' Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan bahwa zakat fithrah adalah dari limajenis makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam juga terdapat nilai tukar (uang), dan seandainya dibolehkan tentu beliau memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi beliau tidak melakukannya. Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar adalah Madzhab Hanafi.
Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi jamaah (sekelompok manusia) memberikan jatah seseorang, demikian pula seseorang boleh memberikan jatah orang banyak.
Zakat fitrah tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam 'Id. Barangsiapa meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya, pen.) sebelum terbenamnya matahari, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Tetapi jika ia mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia belum terlepas dari tanggungan membayar fitrah).
HIKMAH DISYARI'ATKANNYA ZAKAT FITRAH
Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitrah adalah :
a. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.
b. Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
c. Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila Ma'rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa'di, hlm. 37. )
d. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.
Ya Allah terimalah shalat· kami, zakat dan puasa kami serta segala bentuk ibadah kami sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar