SASTRA DAN AGAMA
Oleh Siswo Harsono
Pokok persoalan religi berkaitan dengan tema dan pesan keagamaan dalam karya sastra. Tokoh dalam
perspektif religi berkaitan dengan penokohan dalam karya sastra yang
meliputi deskripsi, dramatisasi, solilokui, opini, dan kontekstualisasi.
Tema-tema religious dapat dilihat dari pikiran, perasaan, perilaku, dan tindakan tokoh dalam karya sastra. Religiusitas tokoh dapat dilihat melaui penokohannya. Secara
fisik deskripsi tokoh menggambarkan keadaan fisik. Dramatisasi
menunjukan perilaku religious tokoh. Solilokui mengungkapkan pengakuan
pengalaman keagamaan tokoh. Opini mengomentari religiusitas seorang
tokoh menurut tokoh-tokoh lain. Sedangkan kontekstualisasi berkaitan
dengan konteks religiusitas tokoh tersebut baik dengan dengan konteks
sosial maupun konteks kulturalnya. Di samping itu, naming (penamaan)
juga dapat dijadikan alat karakterisasi. Nama seorang tokoh memiliki
hubungan afirmatif atau negative terhadap religiusitasnya.
Tema-tema
religious dalam karya sastra berkaitan dengan persoalan ketuhanan dan
keagamaan. Persoalan ketuhanan berkaitan dengan masalah teologi,
pencarian tentang Tuhan, dan keyakinan. Persoalan keagamaan berkaitan dengan system kepercayaan, ritual, peran sosial agama dalam masyarakat dan lain-lain.
Pesan-pesan
religius biasanya berada dalam satu paradigma berbuat baik dan
menghindari kejahatan. Akan tetapi dalam karya sastra persoalan
keagamaan bisa saja ditampilkan secara terbalik. Artinya karya sastra
dapat saja menceritakan tentang kejahatan, keburukan, keangkara murkaan
untuk dicarna oleh membaca secara negative agar tidak berkelakuaan
seperti tokoh tersebut. Hal ini berbeda dengan wacana religius dalam
aktifitas keagaamaan. Dalam aktivitas keagamaan lebih banyak menyatakan
pesan kegamaan yang berkaitan dengan kebenaran, kebaikan, ketaqwaan dan
keshalehan. Hal ini menunjukan bahwa risalah keagamaan berbeda dengan cerita sastra.
Dalam ranah sastra Inggris misalnya persoalan, tema dan pesan religious terdapat antara lain dalam karya John Bunyan, The Pilgrim Progress. Dalam ranah sastra Amerika antara lain digarap oleh Nathaniel Hawthorne dalam The Scarlett Letter. Dalam novel tersebut, Hawthorne mengangkat tema keagamaan melalui konflik tokoh Hester Pryne dengan norma-norma puritanisme.
Tokoh
religius dalam novel tersebut tentu saja Arthur Dimmesdale. Dalam
konflik antara Prynne dengan Dimmesdale merupakan persoalan kemanusiaan
versus ketuhanan. Di satu pihak cinta adalah persoalan kemanusiaan, di
pihak lain kependetaan adalah persoalan keagamaan. Akan tetapi affair
antara kedua pecinta tersebut bertentangan dengan ketuhanan dalam
konteks puritanisme di Amerika. Secara humanis tidak ada yang salah
dalam percintaan kedua tokoh tersebut. Sedangkan secara keagamaan,
percintaan tersebut merupakan tindakan yang terlarang. Pertama, agama
melarang perselingkuhan. Kedua, pendeta mestinya hidup selibat.
Jangankan berselingkuh, menikah pun tidak boleh.
Dari
perspektif religiusitas feminis dalam novel tersebut menunjukkan adanya
ketidakadilan dalam memperlakukan perempuan sebagai korban yang mesti
dihukum baik secara moral maupun religius, sedangkan pendeta Dimmesdale
bebas dari perbuatannya tanpa adanya sanksi moral maupun religius sama
sekali. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku masyarakat yang
menghakimi Hester Prynne kemanapun dia pergi yang selalu diiringi gendering oleh anak-anak dan ditempeli huruf A yang berarti Adultery. Di sisi lain pendeta yang berkaitan dengan norma-norma keagamaan, kebaikan, dan kebenaran bebas dari perbuatannya. Di
mata masyarakat pendeta tersebut tetap religious dan baik, tetapi di
mata agama dia busuk dan munafik. Mestinya pendeta tersebut yang
mendapatkan hukuman lebih berat baik secara sosial maupun religius.
Tema religius yang lain misalnya dalam puisi Ted Hughes yang berjudul “Theology”. Adm
dalam puisi tersebut Ted mempersoalkan mitologi kejatuhan Adam dan Hawa
dari surga. Menurut mitologi Islam maupun Kristen Adam dan Hawa jatuh
dari surga karena digoda oleh setan untuk memakan buah
kuldi. Akan tetapi dalam puisi tersebut bukannya setan yang menggoda
Adam untuk makan buah kuldi, tetapi Adam dan Hawa itu sendiri yang
melakukannya. Bagi Ted, mitologi Adam dan Hawa lebih bersifat
psikoanalisis. Artinya buah kuldi sebagai buah terlarang memiliki makna
sebagai organ tubuh manusia. Dengan demikian memakan buah terlarang sama
dengan persetubuhan antara Adam dan Hawa.
Persoalan
pokok dan tokoh dalam perspektif religi berkaitan baik secara intrinsik
maunpun ekstrinsik. Secara intrinsik tema dan pesan religius terdapat
dalam karya sastra, sedangkan secara ekstrinsik persoalan religiusitas
dapat dijadikan perspektif analisis terhadap karya
tersebut. Tema-tema religius banyak mengangkat pesan-pesan keagamaan
yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Tokoh-tokoh religius dalam
karya sastra tidak harus orang-orang suci seperti nabi,
wali, pendeta, kyai, dan lain-lain, akan tetapi dapat juga menampilkan
manusia biasa yang berkaitan dengan kahidupan keagamaannya. Dengan
demikian tokoh dalam perspektif religius berkaitan dengan pikiran,
perasaan, perilaku dan praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh
tokoh dalam karya sastra.
Analisis
pokok dan tokoh dalam perspektif religi di satu sisi berkaitan dengan
analisis tema dan pesan serta tokoh dan penokohan dalam karya sastra,
dan di sisi lain berkaitan dengan perspektif keagamaan yang dijadikan
pendekatan. Sebagai pendekatan analisis religi berkaitan dengan
bentuk-bentuk keagamaan seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi,
dan lain-lain. Dengan demikian perspektif religi secara ekstrinsik digunakan
sesuai dengan pokok dan tokoh secara intrinsik dalam karya sastra. Hal
ini memungkinkan adanya perspektif multireligi karena adanya keragaman
religiusitas pokok dan tokoh dalam karya sastra.***